Jacqlien Celosse: "Saya Akan Setia Sampai Garis Akhir"
Sore di perumahan Puri Metropolitan Cipondoh, Tangerang. Sesuai janji Bahana bertandang ke rumah Jacqlien Celosse, menemui ibu muda yang lekat dengan gaya funky dan penyuka musik bergenre pop rock itu.
Kalau lagi nyanyi, rambut panjangnya yang pirang tergerai menyibak-nyibak. Kakinya dibalut sepatu hak tinggi lincah menghentak. Sesekali melompat. Pun saat hamil tujuh bulan di tahun 2004. Sama saja. Jacqlien tetaplah Jacqlien. Lepas, ekspresif, semangat, dan powerful dalam memuji Tuhan.
Penyakit Langka
Rumah yang didominasi warna putih tampak bersih dan tertata rapi. Tangga menuju lantai II masih dililit daun cemara dan lampu Natal yang kerlap kerlip. Gordyn orange berpadu dengan hiasan meja yang juga berwarna orange.
Setahun ini Jacqlien didera sakit berat dan tergolong langka. Kabarnya di Indonesia hanya ada tiga orang. Juni 2008 menjalani opname selama dua minggu di Surabaya. Diagnosa penyakit bernama kikuchi fujinomoto. Penyakit yang didiagnosa melalui biopsi dengan manifestasi klinis berupa pembesaran limfa leher. Muncul benjolan di leher akibat kelenjar getah bening, sehingga ia menjadi demam, sakit kepala dan tenggorokan serta flu.
Keprihatinan tidak hanya di kalangan teman pemuji, tapi juga sampai ke jemaat Tuhan di luar negeri. Lebih lagi bagi yang pernah mengundangnya bernyanyi. Beberapa sahabat artis rohani menggelar Charity Night di Jakarta baginya.
Jacqlien tersenyum ramah menyambut Bahana. Dari awal mengenalnya ia memang friendly. Wajahnya masih tampak pucat dan terlihat kurus. “Ini sudah lumayan, Mbak,” ungkap istri Pdt. David Novendus, ibu dari Karen Serouna (12) dan Keith David (4). Malam sebelumnya ia demam tinggi. Lehernya terasa sakit kalau bergerak. Setahun ini hal itu sering terjadi, sekadar tiba-tiba demam atau kambuh berat. Di leher kanan ada benjolan yang amat keras itu. “Kadang menonjol keluar,” tambah, kelahiran Manado, 11 Maret 1973 itu.
Kondisinya turun-naik. Tak terhitung berapa kali ia berurusan dengan dokter. Lelah benar. Medis tidak mudah menemukannya. “Penyakitmu misterius, aneh. Dokter Indonesia, dokter Singapura, dan dokter China belum bisa kasih jalan keluar. Dokter terbatas. Berdoa saja ya.” kata Jacqlien menirukan pernyataan salah satu dokter.
Pertengahan September tahun lalu, Jacqlien mendadak tidak bisa berjalan. Kaki kanan kaku, sulit digerakkan. Dada sakit. Tangan dan bahu kiri kaku. Nafas pun sesak. Jacqlien perlu orang lain untuk memapahnya berjalan. Setelah itu ia juga mengalami lost short term memory berulangkali. “Ketemu orang yang sangat saya kenal, kami salaman terus dia tanya kabar saya. Eh, ditanya kabar, saya bisa bingung mencerna maksudnya. Saya nggak bisa jawab. Biar nggak tersinggung, saya bilang maaf habis sakit,” kenang pemilik 10 album rohani.
Usaha untuk sembuh secara medis ditempuh sampai di Rumah Sakit di Guang Zhou, Cina. Menjalani pemeriksaan yang melelahkan dan mendebarkan selama tiga minggu. Hasil pemeriksaan simpang siur. Jacqlien mengalami autoimmune yang menyerang lewat pembuluh darah, polyarteritisnodosa yang mengena pada paru-paru, inflamasi cronic di belakang hidung dan sistem saraf. Namun beberapa pertimbangan biopsi pembuluh darah tidak dilakukan.
Autoimmune ternyata juga menekan saraf pusat yang sempat membuat Jacqlien mengalami halusinasi. “Saya dengar suara perempuan yang sangat menakutkan. Suara itu mengejar saya menyuruh saya berlari keluar dari kamar mandi. Padahal saat itu saya berpakaian seadanya. Syukurlah David melihat saya. Dia kaget bukan main. Dia peluk saya dan membawa masuk kembali. Karena sedikit lagi jalan besar, bahaya sekali.”
Tindakan Tak Bijak
Sepulang dari China mental Jacqlien drop. Depresi berat. Sakit, lelah, dan segala perasaan tak nyaman campur aduk. Halusinasi kembali terjadi. Ia ketakutan, mendengar suara aneh yang menakutkan. Takut kala membuka mata tak ada orang lain di sampingnya. “Secara rohani mungkin itu serangan kuasa gelap. Selama 10 hari penuh selalu ada yang menemani saya terutama mami dengan menaikkan pujian penyembahan.”
Ketika dalam masa berat seperti ini, Jacqlien menghadapi berbagai tindakan tidak bijak. Orang-orang menghakiminya, di antaranya pendeta. “Ada yang datang ke rumah bilang kalau sakit saya ini karena dosa dan kutukan karena dosa keluarga. Dengan sangat keras dia berkata ’ bertobat, ayo ngaku ...’. Ada juga yang sampai hati telepon ke mami. Tidak tega lihat mami jadi kepikiran padahal dia juga sudah capai bantu urus saya dan urus anak-anak saat saya harus jalani perawatan ini-itu.” Syukurlah, lebih banyak orang yang memberi dukungan daripada yang menghakimi.
Jacqlien lelah. Tak hanya raganya jiwanya pun lungkrah. Penat tak terperi. Saat kambuh Jacqlien tak mampu melakukan hal-hal kecil. Pernah ia tak mampu berdiri saat membantu mengikat tali sepatu Keith. Kaki lemas seperti tak ada kekuatan, perlu bantuan David atau mami untuk menggendongnya. Atau malah kakinya kaku sulit ditekuk, hingga, maaf ia harus buang air kecil dengan berdiri. “Saya tak akan lari dari proses Tuhan. Ini pengalaman hidup yang sangat berarti. Saya tidak akan komplain. Kami pasti kuat karena kami percaya Tuhan tetap ada untuk kami...” David mendampinginya dengan penuh kasih dan kesabaran. Mereka saling menguatkan. “Ekin, kita akan mengakhiri pertandingan iman dengan baik,” kata David suatu kali.
Kondisi seperti itu kadang membaik namun bisa dengan tiba- tiba kambuh lagi. “Saat sakit menyerang, tubuh ini seperti ditusuk-tusuk pisau. Saya cuma bisa nangis di hadapan Tuhan.” Hatinya menjerit, kesembuhan belum juga datang. Ia merasa tak mampu menanggungnya. Belum lagi bicara biaya pengobatan yang selangit merupakan persoalan tersendiri.
Pernah satu kali saat kesehatan Jacqlien drop, kedua anaknya sakit. Dalam keadaan lemah tubuh, ia mengurus anaknya yang juga harus dirawat di rumah sakit. Belum lama anaknya pulang perawatan, menyusul ibunya terserang stroke. “Menghadapi itu semua saya hanya bisa berdoa, Tuhan tolong saya, tolong saya. Doa saya lebih banyak dengan air mata daripada kata-kata. Puji Tuhan, mami cepet pulih.”
Tetap Teguh
Wanita yang bersama suaminya menggembalakan gereja The Rock Church itu tetap teguh dan percaya. Tuhan itu baik. Ia masih melihat tangan Tuhan di setiap kesulitan yang dihadapi. Beberapa lagu terlahir dari beban beratnya, penderitaannya. Seperti ketika berada dalam pesawat yang membawanya terbang pulang dari China atau ketika ia harus berada di kamar berhari-hari menahan rasa sakit. Oh, Jacqlien pun menyanyi dengan suara lembut, “Tuhan inilah hidupku. Segenap hati menyenangkan- Mu. Pakai sesuai rencana-Mu. Jadikan aku bejana indah-Mu. Tuhan inilah janjiku, melayani-Mu seumur hidupku. Sampai di garis akhirku, Kau dapati aku setia...,” Jacqlien terdiam, menyeka matanya yang basah.
Bila kondisi kesehatan baik, Jacqlien menikmati kesibukan ibu rumah tangga. Mengurus Karen dan Keith. Menemani mereka belajar, menyiapkan urusan sekolah. “Hari ini saya cuci dua bed covers,” katanya tersenyum. Penyuka makanan pedas ini memang tak bisa diam. Sewaktu sehat, sepulang pelayanan, jam berapa pun ia sempatkan beres-beres rumah. Beberapa kali bahkan ia mengecat sendiri rumah mereka. Rajin olahraga dan sangat menjaga makanan.
Sungguh Jacqlien telah berjanji akan memuji Tuhan seumur hidupnya. “Saya sangat mempercayai-Nya. Tuhan Yesus mendengar semua doa saya. Apa pun jawaban-Nya itu pasti yang terbaik. Saya harus tetap kuat dan bersyukur. Saya sangat berterima kasih untuk keluarga, sahabat, hamba Tuhan dan para dokter yang telah mendukung saya dalam pergumulan ini,” katanya.
Ia menambahkan, kalau Tuhan mau menyembuhkan, one touch semua penyakit bisa sembuh. Semua dapat dilakukan oleh-Nya. Tapi Jacqlien tak mau tujuannya pada kesembuhan. Ia menghargai kedaulatan Tuhan. Kalau tidak sembuh? Give up? “Tubuh boleh lemah atau hancur, namun saya akan setia sampai garis akhir... ”kata pemilik album All Of Me dengan new hits single Mujizat Pasti Terjadi.
Ya, Jacqlien, suara kehidupanmu begitu indah terdengar....
Sumber: Bahana, Maret 2009
No comments:
Post a Comment